Ketidak pedulian dan pemulung

Senin, 17 Desember 2007

Ketika saya sedang mencoba tampil mengikuti apa yang mungkin disebut oleh khalayak sebagai trend yang datangnya dari budaya luar, ketika saya sedang asik menonton film hollywood dan ketika sedang mendengarkan musik pop semua itu membuatku merasa uptodate dan tidak kuno. Tetapi tiba-tiba terdengar kabar bahwa lagu rasa sayange dan reog ponorogo di klaim oleh negara tetangga sebagai budaya mereka. Maka dengan spontan dan bernada amarah saya jadi membenci dan timbul rasa memusuhi tetangga kita itu(pemulung), perasaan seperti perlahan surut dan beralih menjadi kemarahan terhadap diri sendiri dan bertanya:

Kenapa marah..?

kenapa marah ketika mereka menggunakan budaya kita dan mengklaimnya..?

apakah selama ini saya perduli terhadap reog dan lagu rasa sayange..?

apa alasan saya marah ketika pemulung tersebut mengambil sesuatu yang sudah tidak kita perdulikan lagi..?

Apakah itu karena alasan nasioalisme..?

Kalau karena nasionalisme kenapa tidak mencintai budaya negeri sendiri..?

kenapa kita tidak perduli terhadap budaya kita yang seharusnya menjadi identitas kita...?

manusia macam apa saya ini...?
Memang seharusnya kemarahan ditujukan terhadap ketidak pedulianku terhadap budaya negeri ini.

Ya.... seharusnya marah sekali,
tapi terhadap siapa?
dan untuk apa marah..?

Hidup di dunia yang sudah ada dunia

Minggu, 25 November 2007

Mendengar ucapan dari dokter Sutjahjo Gani yang merupana cicit dari Tan Khoen Swie , pendiri dan pemilik Boekhandel Tan Khoen Swie membuat sejenak tersadar. Sang dokter berkata ketika dalam acara oasis(metrotv) kurang lebih sebagai berikut :



"Kita hidup di dunia, dunia sudah ada kenapa kita masih mencari dunia"
Sangat mendalam arti dari perkataan sang dokter, membuat saya termenung sejenak dan terhenyak dimana pada saat ini saya seperti terjebak dan terseret derasnya arus kota serta tuntutan akan duniawi sebagai syarat hidup di kota metropolis.

akhirnya sedikit mengerti, bahwa budaya dan seni adalah oasis di padang pasir ataupun tandusnya dialektika materialistis..

Selera Propaganda

Minggu, 11 November 2007

Kehendak untuk mengamini dan memiliki sesuatu adalah hal yang lumrah. Namun apa yang menjadi dasar sebuah keinginan tersebut masih menjadi pertanyaan, apakah kita benar-benar menginginkannya ataukah cuma ikut-ikutan saja. Ketidaktahuan terhadap dasar-dasar yang melandasi keinginan terhadap sesuatu malah menjadi sifat baru yang meracun. Sifat seperti ini masih menjadi sifat yang mendominasi masyarakat Indonesia, entah yang berada di daerah perkotaan maupun di daerah.

Sifat ini merupakan suatu sifat propaganda yang membuat selera masyarakat berubah-ubah, tergantung yang mengawali selera tersebut (trendsetter). Saya tidak setuju dengan sikap para trendsetter ini, karena selera propaganda yang dijual secara manis dihadapan para calon pembelinya, dengan menampilkan adegan-adegan yang "mengundang" orang untuk membeli, sebut saja reklame sebuah produk telekomunikasi yang menawarkan tarif termurah dengan model seorang gadis berpakaian ketat dan menaruh tarif termurah tersebut ditengah-tengah daerah yang "menonjol".

Hebatnya, wajah dan setengah badannya terpampang dihampir sudut kota-kota Indonesia, maklumlah karena wajahnya yang cantik dan senyumnya yang begitu sumringah diikuti dengan pose angka tarif yang terletak didaerah "menonjol" (tentu yang terakhir akan mengganggu aktifitas libido) membuat kita terhipnotis oleh obyek yang dijual oleh produsen telekomunikasi tersebut. Alhasil, produknya sukses terjual di tengah-tengah masyarakat, tapi pernahkah kita memikirkan dampak dari si model? Model ini pun terkena dampak sosial dan mungkin akan menjadi bahan pelecehan karena angka tarif yang terpampang di tengah-tengah dadanya seolah-olah menjelaskan bahwa harga si model pun setarif dengan produk yang diobyeknya.

Lalu apa yang menjadi masalah terhadap selera propaganda? Terlalu naif apabila menyalahkan para trendsetter, namun apa yang disebut sebagai hal yang lumrah apabila terjadi penyalahgunaan terhadap kehendak untuk mengamini sesuatu? Bagi saya, segala bentuk yang dilakukan atas nama selera propaganda merupakan tindakan yang sangat absurditas, tidak mendasari atas kehendak dalam memiliki sesuatu dan hidup dalam keragu-raguan. Seolah-olah kehendak kita dibatasi oleh sekat-sekat yang kita tidak bisa bernafas tanpanya.

Para trendsetter ini, dengan seenak-enaknya menyerahkan dirinya untuk dijual oleh para produsen-produsen yang menggunakannya secara bijak demi keuntungan yang lebih besar lagi. Apalagi kalo bukan untuk sebuah rantai pembunuhan terhadap trend-trend yang sudah usang, sehingga para produsen ini secara tidak langsung berhadapan dengan globalisasi-globalisasi, tantangan-tantangan baru dihadapan para birokrat-birokrat tua yang juga sudah usang dan tidak bermakna lagi bagi para kaum intelektual modern.

Semoga apa yang saya takutkan tentang selera propaganda menjadi benar-benar absurd dan tidak dijadikan agama baru bagi para pemuda/i bangsa yang sedang menjajaki jati diri sendiri maupun bangsa tempat ia tinggal.

Catatan pertama keledai

Rabu, 07 November 2007

Entah apa yang akan ditulis disini nantinya, tapi entah mengapa tiba-tiba saya tergerak untuk membuatnya, hmmm....
Mungkin nanti cuma berisi hal-hal bodoh dan tak berarti, tapi setidak-tidaknya dengan mendokumentasikan kebodohan dan ketidakberartian saya menjadi tahu bahwa saya pernah melakukan hal-hal yang bodoh dan tak berarti yang bisa dijadikan untuk belajar.
Tapi sayang, nampaknya hal-hal bodoh dan tak berarti masih terus berlanjut dalam bentuk dan hal yang berbeda.
hmmm.... jadi teringat peribahasa
"hanya keledai yang terperosok di lubang yang sama dua kali"
Jika di umpamakan seperti keledai saya masih dapat berkilah bahwa keledai bisa hidup dengan damai tidak saling sikut, tidak saling hujat, tidak saling caci maki dan tidak serakah.
Sekali lagi sayang ternyata saya tidak lebih baik daripada keledai karena biarpun bodoh dia tidak berusaha tampil sok pintar, tidak serakah, dan tidak saling membenci. Lalu timbul pertanyaan dalam diriku, mahluk apakah diriku ini..?, apakah aku mempunyai jatidiri?
Oh.. tidak, aku merasa mempunyai jatidiri yaitu orang yang tidak mempunyai jatidiri.

Skali lagi siapakah diriku...?
ah.. itu tidak penting, yang penting bisa apakah diriku ini?
Aku bisa mengigau di blog ini, inilah yang aku tahu(akhirnya ada yang kutahu).