Kehendak untuk mengamini dan memiliki sesuatu adalah hal yang lumrah. Namun apa yang menjadi dasar sebuah keinginan tersebut masih menjadi pertanyaan, apakah kita benar-benar menginginkannya ataukah cuma ikut-ikutan saja. Ketidaktahuan terhadap dasar-dasar yang melandasi keinginan terhadap sesuatu malah menjadi sifat baru yang meracun. Sifat seperti ini masih menjadi sifat yang mendominasi masyarakat Indonesia, entah yang berada di daerah perkotaan maupun di daerah.
Sifat ini merupakan suatu sifat propaganda yang membuat selera masyarakat berubah-ubah, tergantung yang mengawali selera tersebut (trendsetter). Saya tidak setuju dengan sikap para trendsetter ini, karena selera propaganda yang dijual secara manis dihadapan para calon pembelinya, dengan menampilkan adegan-adegan yang "mengundang" orang untuk membeli, sebut saja reklame sebuah produk telekomunikasi yang menawarkan tarif termurah dengan model seorang gadis berpakaian ketat dan menaruh tarif termurah tersebut ditengah-tengah daerah yang "menonjol".
Hebatnya, wajah dan setengah badannya terpampang dihampir sudut kota-kota Indonesia, maklumlah karena wajahnya yang cantik dan senyumnya yang begitu sumringah diikuti dengan pose angka tarif yang terletak didaerah "menonjol" (tentu yang terakhir akan mengganggu aktifitas libido) membuat kita terhipnotis oleh obyek yang dijual oleh produsen telekomunikasi tersebut. Alhasil, produknya sukses terjual di tengah-tengah masyarakat, tapi pernahkah kita memikirkan dampak dari si model? Model ini pun terkena dampak sosial dan mungkin akan menjadi bahan pelecehan karena angka tarif yang terpampang di tengah-tengah dadanya seolah-olah menjelaskan bahwa harga si model pun setarif dengan produk yang diobyeknya.
Lalu apa yang menjadi masalah terhadap selera propaganda? Terlalu naif apabila menyalahkan para trendsetter, namun apa yang disebut sebagai hal yang lumrah apabila terjadi penyalahgunaan terhadap kehendak untuk mengamini sesuatu? Bagi saya, segala bentuk yang dilakukan atas nama selera propaganda merupakan tindakan yang sangat absurditas, tidak mendasari atas kehendak dalam memiliki sesuatu dan hidup dalam keragu-raguan. Seolah-olah kehendak kita dibatasi oleh sekat-sekat yang kita tidak bisa bernafas tanpanya.
Para trendsetter ini, dengan seenak-enaknya menyerahkan dirinya untuk dijual oleh para produsen-produsen yang menggunakannya secara bijak demi keuntungan yang lebih besar lagi. Apalagi kalo bukan untuk sebuah rantai pembunuhan terhadap trend-trend yang sudah usang, sehingga para produsen ini secara tidak langsung berhadapan dengan globalisasi-globalisasi, tantangan-tantangan baru dihadapan para birokrat-birokrat tua yang juga sudah usang dan tidak bermakna lagi bagi para kaum intelektual modern.
Semoga apa yang saya takutkan tentang selera propaganda menjadi benar-benar absurd dan tidak dijadikan agama baru bagi para pemuda/i bangsa yang sedang menjajaki jati diri sendiri maupun bangsa tempat ia tinggal.
0 komentar:
Posting Komentar